Pancasila dan Pesantren
Ada beberapa hal yang melambangkan dialektika pesantren dan negara. Pertama, pondok pesantren sangat kuat dalam pemahaman dan pembumian nilai-nilai Pancasila tanpa harus menggunakan nomenklatur butir-butir Pancasila. Mereka sudah sangat Pancasilais bahkan sebelum Pancasila itu sendiri lahir; kedua, nalar keagamaan masyarakat pesantren merupakan asupan utama dalam pengkayaan konsep “Ketuhanan yang Maha Esa” sekaligus pengamalannya dalam bentuk pilihan hidup sederhana, moderasi dan lapang dada; ketiga, adanya kesepahaman tentang Pancasila sebagai ideologi negara melalui penegasan bersama hubungan sinergitas Pancasila dan agama. Agama dan Pancasila bukan hubungan yang saling menegasikan. Justru Pancasila dinafasi agama sebagaimana segenap umat beragama dalam kehidupan bernegara berada dalam payung ideologis Pancasila sebagai “warga” yang setara.
Ketiga, pokok-pokok pikiran terutama yang digali dari khazanah literasi pesantren (kitab kuning) diproyeksikan untuk penguatan dan internalisasi nilai-nilai Pancasila; keempat, mencari penyelesaian permasalahan secara utuh di beberapa pesantren yang dipandang mengajarkan rsdikalisme yang nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan nilai-nilai universal agama dan kemanusiaan; kelima, mempromosikan dimensi kultural kepesantrenan dalam konteks kebangsaan untuk penebalaan kebinekaan dan perwujudan keberagamaan yang inklusif.
Pancasila sudah final
Pesantren yang kebanyakan berafiliasi pada ormas NU (Nahdatul Ulama) telah menarik kebangsaan satu helaan nafas dengan keislaman.
Abdurrahman Wahid menggunakan alasan akidah ahli sunnah wal jamaah, “Penerimaan atas Pancasila sebagai asas itu juga dilakukan secara keagamaan, dalam arti mendudukan agama dan Pancasila pada tempat masing-masing tanpa harus dipertentangkan. Antara Pancasila sebagai landasan ideologis-konstitusional dan akidah Islam menurut faham ahlisunnah waljamaah sebagai landasan keimanan, tidak dapat dipertentangkan, karena pada hakikatnya orang berasas Pancasila karena kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa dan dengan demikian megambil salah satu dasar Pancasila, sedangkan berakidah adalah tindakan mengkonkretkan Pancasila dalam salah satu bidang kehidupan bangsa, yaitu kehidupan beragama. Hubungan yang saling mendukung antara akidah dan asas, dus antara Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi, adalah hubungan yang saling mengisi yang kreatif, yang akan menyuburkan kedua-duanya”.
Kitab kuning yang menjadi kurikulum wajib di pesantren banyak mengajarkan cara beragama moderat. Menanamkan sikap terbuka dalam melihat keragaman pendapat. Dalam diksi fikih misalnya bagaimana ulama tidak pernah sepakat dalam satu hal (aqwal), tapi mereka tidak saling mengkafirkan. Satu sama lain mengapresiasiya penuh ketakziman. Yang dikedepankan bukan pendakuan tapi mengargumentasikan alasan masing-masing sesuai kaidah keilmuan dengan menjunjung akhlakul karimah. Kata Abu Hanifah “Hadza ra’yi. Fa man ja’ani bi khair mihu qabilnahu (Ini adalah pendapatku, jika ada yang lebih baik akan aku terima)”. Dalam ungkapan Imam Syafii, “Ijtihadku benar walaupun mungkin keliru, dan tidak menutup kemungkinan pikiran orang lain keliru meski mungkin benar”.
Kitab kuning bukan hanya sekadar sehimpunan literasi yang menghubungkan kaum santri dengan khazanah tradisi keislaman yang kaya, namun juga mengajarkan tentang keharusan memiliki kesanggupan memberikan jawaban kontekstual terhadap persoalan-persoalan kekinian baik berkaitan dengan kemanusiaan, Keumatan atau kebangsaan. Kitab kuning mengokohkan santri dalam akar tradisi juga pada saat yang sama menajamkan sudut pandang agar mempunyai sensitivitas dalam membangun visi.
Pengalaman pesantren dalam melihat Pancasila inilah yang menarik terus digali dan dimaknai untuk kemudian dijadikan teladan komunitas lain. Pesantren sebagai lembaga keagamaan yang tersebar pada gilirannya menjadi contoh nyata pembumian Pancasila. Di sisi lain Pancasila mendapatkan apinya dari nilai-nilai keagamaan yang telah menjadi pengalaman.
Ternyata, kitab kuning yang dikaji di pesantren tidak serta merta membentuk santri berpikir konservatif tapi sebaliknya, mereka seringkali mengembangkan wawasan kebangsaan progresif.
Tentu pesantren bukan tanpa masalah. Gempuran hedonisme, globalisme, konsumerisme, pragmatisme politik, godaan ajaran keagamaan yang menawarkan “kesalehan sesaat” adalah beberapa hal yang membutuhkan respon memadai dari pesantren.
Agar keberadaan pesantren tetap memberikan jawaban terhadap problem keumatan, kemanusiaan dan kebangsaan. Pesantren sebagai kabuyutan, dalam tradisi kearifan Sunda, akan tetap memainkan peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
#1oktober2019 #kesaktianpancasila #mondok #ponpes #pancasila #NKRI #UUD1945 #ppsh #sabilulhasanah #alasantri #Indonesia #okut #banyuasin #muba #bangka #oganilir #lahat #palembang #santripalembang #oki #oi #muaraenim
Discussion about this post