NU Online
Berdasarkan data hisab yang dilakukan Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Gerhana Bulan Total (GBT) yang akan terjadi pada Rabu (26 Mei 2021) berdurasi sekitar 1 jam 5 menit hingga 3 jam 8 menit. Metode yang digunakan oleh LFPBNU adalah sistem hisab haqiqy bittahqiq (kontemporer). “Ada tujuh propinsi yang mengalami Gerhana Bulan Total ini secara utuh karena di masing–masing propinsi tersebut awal fase gerhana sebagian terjadi setelah Matahari terbenam. Yakni di Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur,” kata Wakil Sekretaris LFPBNU Ma’rufin Sudibyo kepada NU Online, Selasa (25/5). Sebaliknya lanjut Ma’rufin, ada empat provinsi yang diperhitungkan hanya akan mengalami tahap akhir gerhana saja karena fase gerhana total terjadi pada saat Matahari belum terbenam.
Yakni di Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat dan Riau. Hasil hisab menunjukkan fase-fase Gerhana Bulan Total ini di seluruh Indonesia meliputi awal fase gerhana sebagian pada pukul 16:44:59 WIB, awal fase gerhana total pada 18:11:26 WIB, pertengahan gerhana pada 18:18:41WIB, akhir fase gerhana total pada 18:25:56 WIB, dan akhir fase gerhana sebagian pada 19:52:53 WIB. Adapun jarak Bumi dan Bulan di awal fase gerhana sebagian sejauh 357.417 km dan jarak Bumi dan Bulan di akhir fase gerhana sebagian sejauh 357.519 km. Ma’rufin menjelaskan bahwa gerhana bulan ini diperhitungkan terjadi pada saat bulan berada pada titik terdekatnya dengan Bumi (titik perigean).
Sehingga merupakan Gerhana Bulan Perigean. Fase-fase gerhana tersebut sama untuk seluruh Indonesia. Sehingga tidak ada perbedaan antara satu lokasi dengan lokasi yang lain. “Perbedaan mendasar adalah hanya Indonesia bagian timur yang mengalami fase gerhana secara utuh (dari awal fase gerhana sebagian hingga akhir akhir fase gerhana sebagian). Sedangkan Indonesia bagian barat tidak demikian. Bahkan ujung utara pulau Sumatra tidak mengalami fase gerhana total sama sekali karena Matahari belum terbenam (Bulan belum terbit) pada saat fase tersebut terjadi dari awal hingga akhir,” jelasnya.
Dalam setiap tahun Hijriyyah terjadi 12 peristiwa istikbal, namun tidak setiap istikbal menghasilkan Gerhana Bulan. Sebab orbit Bulan membentuk sudut 5º 14’ terhadap ekliptika sehingga Bulan tidak selalu menempati salah satu di antara dua titik nodalnya manakala istikbal terjadi. Situasi dimana istikbalterjadi bersamaan dengan Bulan menempati atau berdekatan dengan salah satu titik nodalnya hanya terjadi minimal 2 kali dan maksimal 4 kali dalam setiap tahun Hijriah.
Jenis-jenis Gerhana Gerhana Bulan (al–khusufal–qamar) terjadi saat Bumi, Bulan dan Matahari benar–benar sejajar dalam satu garis lurus ditinjau dari perspektif tiga–dimensi dengan Bumi berada di antara Bulan dan Matahari. Dalam khasanah ilmu falak, Gerhana Bulan terjadi bersamaan dengan oposisi Bulan–Matahari (istikbal) dengan Bulan menempati salah satu di antara dua titik nodalnya.
Titik nodal merupakan titik potong khayali di langit dimana orbit Bulan tepat memotong ekliptika (masir asy–syams), yakni bidang edar orbit Bumi dalam mengelilingi Matahari. Sebagai akibat kesejajaran tersebut maka pancaran sinar Matahari yang menuju ke bundaran Bulan akan terhalangi oleh Bumi. Maka peristiwa Gerhana Bulan selalu terjadi di malam hari. Karena ukuran Bumi lebih besar dibanding Bulan dan bergantung kepada geometri pemblokiran sinar Matahari saat gerhana, maka bagian Bumi manapun yang sedang mengalami malam hari dapat menyaksikan peristiwa Gerhana Bulan.
Meski geometri gerhana menyebabkan adanya fase awal gerhana dan fase akhir gerhana, sehingga ada kawasan yang tak mengalami seluruh fase gerhana secara utuh karena gerhana terjadi dalam proses terbit maupun terbenamnya Bulan. Terdapat tiga jenis Gerhana Bulan. Yang pertama, Gerhana Bulan Total (GBT). Terjadi saat Bulan berada di titik nodal kala istikbal. Sehingga cakram Bulan tepat sepenuhnya memasuki kerucut bayangan inti (umbra) Bumi di puncak gerhana. Dalam konfigurasi ini cahaya Matahari yang terblokir Bumi membentuk dua bayangan, yaitu umbra (bayangan inti) dan penumbra (bayangan tambahan).
Pada puncak gerhana, ketampakan Bulan seakan-akan sangat meredup di langit, berganti menjadi warna merah gelap ataupun gelap sepenuhnya yang bergantung kepada derajat pengotoran udara global pada saat itu. Kedua, Gerhana Bulan Sebagian (GBS) atau Gerhana Bulan Parsial. Mirip GBT, ia juga terjadi saat Bulan berada di titik nodal kala istikbal namun tidak seluruh cakram Bulan memasuki kerucut bayangan inti (umbra) Bumi di puncak gerhana.
Pada konfigurasi ini cahaya Matahari yang terblokir Bumi juga akan membentuk dua bayangan, yaitu umbra dan penumbra. Pada puncak gerhana, ketampakan Bulan seakan–akan berubah menjadi perbani (separo) atau sabit tebal, yang bergantung kepada geometri gerhana pada saat itu. Ketiga, Gerhana Bulan Penumbral (GBP) atau Gerhana Bulan Samar. Berbeda dengan GBT dan GBS, GBP terjadi saat istikbal namun Bulan tidak bersinggungan sama sekali dengan kerucut bayangan inti (umbra) Bumi. Cakram Bulan hanya memasuki kerucut bayangan tambahan (penumbra) Bumi, baik seluruhnya maupun sebagian saja.
Dan pada puncak gerhana, ketampakan Bulan sangat sulit dibedakan dengan Bulan purnama biasa kecuali oleh perukyat (pengamat) yang berpengalaman. Perukyat berpengalaman akan menyaksikan bagian tertentu Bulan sedikit lebih gelap dibanding bagian lainnya di puncak gerhana. Dalam literatur falak klasik, Gerhana Bulan seperti ini disebut khusuf asy–syabahi seperti disebutkan dalam kitab Irsyadul Murid karya KH Ghozali Fathullah.
Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Fathoni Ahmad
Discussion about this post