Kegiatan Bahtsul Masail di Pesantren Sabilul Hasanah
Bahtsul Masail itu bukan tentang perdebatan, adu argument, jago-jagoan baca kitab kuning, perang ibarot, bukan, bukan itu saja. Bahtsul Masail adalah tentang kehati-hatian dalam membicarakan permasalahan agama, fiqih khususnya.
Istilah Bahtsul Masail ini memang khas Nusantara, khas NU, khas pesantren. Bukan dari yang lain. Tetapi jangan dianggap sebagai sesuatu yang baru sama sekali dan tidak memiliki akar sejarah. Jika ada yang berfikir seperti itu, atau buru-buru menyatakannya di ruang publik, berarti jelas dia bagian dari orang yang malas membaca dan kalau pun membaca, dia sekedar membaca kulit luar saja, tidak bisa menangkap makna dan simbol di dalam bacaannya.
Bahtsul Masail itu kemasannya saja yang original Nusantara, sedang isinya sangat Qur’anic dan historic, sejak zaman sahabat hingga para ulama salaf kalangan mujtahidin.
Bahtsul Masail adalah implementasi dari QS. Ali Imran : 159, tentang memusyawarahkan suatu urusan. Juga implementasi dari QS. An-Nahl :125, tentang anjuran melakukan dialog argumentatif. Itu setidaknya.
Di kalangan sahabat, duduk bareng, berembug tentang tema-tema agama sering dihelat. Salah satunya, suatu hari, Sahabat Umar, mengajak berkumpul para sahabat senior untuk mendiskusikan pemahaman masing-masing terkait salah satu surat al-Qur’an, kemudian semuanya taslim terhadap pendapat dari sahabat termuda yang hadir di tempat itu, Abdullah Ibn Abbas.
Tradisi itu kemudian dilanjutkan oleh para ulama salaf, mereka berijtihad, mempelajari secara mendalam dan meneliti secara komprehensif, setelah itu mereka mengkonfirmasi temuannya kepada para pakar lainnya untuk menguji kebenaran pemahamannya. Maka muncullah istilah-istilah ijma’, qiyas, qaul rajih, masyhur dlsb.
Ulama Indonesia, khususnya di kalangan pesantren dan nahdliyin, tradisi ini dihidupkan dengan kemasan khas, Bahtsul Masail.
Aspek pendidikan yang terdapat dalam kegiatan Bahtsul Masail ini setidaknya ada dua: pertama, tentang kesadaran atas pentingnya memahami ajaran agama, terutama hukum-hukum syariat, secara komprehensif, metodologis-argumentatif, tidak subjektif non-argumentatif. Kedua, tentang kehati-hatian dalam memahami ajaran agama, terlebih jika berkaitan dengan hukum syariat. Membicarakan hukum atau memfatwakan hukum tertentu bukan perkara yang boleh dilakukan secara asal oleh orang yang tidak memiliki kapasitas. Selain rentan salah, juga rentan memicu keributan di ruang publik.
Jadi, sepenting itu lah keberadaan Bahtsul Masail, sehingga harus terus dilestarikan.
Seperti halnya dalam ilmu ushul fiqh, terdapat istilah hukum asal, untuk menelusuri status hukum suatu permasalahan, bukan asal hukum seperti yang dipopulerkan oleh sebagian orang. Istilah kedua ini cenderung menghukumi setiap permasalahan dengan metode asal hukum bukan hukum asal. Karena yang memfatwakan hukum, tidak memiliki kompetensi untuk bicara hukum.
Pondok Pesantren Sabilul Hasanah Jl Raya palembang-Jambi KM24 Desa Purwosari Kec. Sembawa Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan
Discussion about this post