Khutbah I
الحَمْدُ للهِ الّذِي خَلَقَ الخَلْقَ لِعِبَادَتِهِ، وَأَمْرُهُمْ بِتَوْحِيْدِهِ وَطَاعَتِهِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، أَكْمَلُ الخَلْقِ عُبُودِيَّةً للهِ، وَأَعْظَمَهُمْ طَاعَةً لَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَاِبهِ. اَمَّا بَعْدُ، فَيَااَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
Sudah sering kita mendengar kala Ramadhan tiba para dai atau ustadz mengingatkan umat Islam bahwa puasa wajib dilakukan dengan tujuan agar kita menjadi pribadi yang bertakwa. Pesan itu diulang-ulang dari satu ceramah ke ceramah, bahkan sejak sebelum Ramadhan tiba. Rujukkannya jelas, yakni Surat Al-Baqarah ayat 183, yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Yang menjadi pertanyaan, apa makna takwa? Para ulama secara umum memaknainya dengan arti “melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-larangannya”. Seringkali publik menerima pengertian tersebut cukup sampai di situ. Jarang sekali umat Islam berusaha mencari keterangan rinci soal definisi ini, menghayatinya, lalu mengamalkan.
Makna takwa pun beredar sedemikian rupa dan menjadi pemahaman yang ala kadarnya. Ketika disebut “orang yang ketakwaannya meningkat” maka yang tergambar adalah orang-orang yang semakin taat melaksanakan shalat, kian rajin membaca Al-Qur’an, tambah gemar puasa sunnah, banyak berdzikir, dan sejenisnya; serta otomatis semakin jauh dari perbuatan judi, minuman-minuman keras, zina, bohong, dan aktivitas maksiat lainnya.
Jamaah shalat jum’at hafidhakumullâh,
Pengertian yang umum dipahami publik tersebut tidak keliru, namun bukan pula berarti sempurna. Pengertian itu masih didominasi oleh kecenderungan peningkatan ibadah ritual semata. Segi maksiat pun seolah-olah diidentikkan dengan perbuatan lahiriah saja. Padahal, dalam diri manusia ada dua hal yang mesti diperhatikan, yakni dimensi dhahir dan dimensi bathin.
Karena itu kiranya kita penting merujuk pada definisi takwa sebagaimana dijelaskan Sayyid Al Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad Dimyathi dalam kitab Kifayatul Atqiya’wa Minhajul Ashfiya’. Beliau mengatakan bahwa takwa adalah:
عِبَارَةٌ عَنِ امْتِثَالِ أَوَامِرِ اللهِ، وَاجْتِنَابِ نَوَاهِيْهِ ظَاهِرًا وبَاطِنًا، مَعَ اسْتِشْعَارِ التَّعْظِيْمِ لِلهِ، الهَيْبَة وَالخَشْيَة وَالرَّهْبَة مِنَ الله
“(Takwa adalah) istilah yang mengacu pada dilaksanakannya perintah-perintah Allah dan dijauhinya larangan-larangan-Nya secara dhahir maupun bathin, bersamaan dengan ikhtiar merasakan keagungan Allah, juga takut kepada-Nya.”
Jamaah shalat jum’at hadâkumullâh,
Setidaknya ada dua poin penting yang bisa diserap dari definisi yang disampaikan Sayyid Al Bakri di sini. Pertama, ketaatan kepada Allah dan ikhtiar menghindari dari durhaka kepada-Nya harus diejawantahkan dalam bentuk perbuatan lahiriah maupun batiniah. Takwa dengan demikian tidak hanya berurusan dengan aktivitas fisik tapi juga aktivitas hati.
Saat orang-orang mengaitkan takwa dengan perintah shalat, puasa, haji, dan zakat, serta larangan berjudi, mabuk-mabukan, dan sejenisnya, maka sesungguhnya yang dibidik barulah aspek fisik. Padahal perintah dan larangan Allah yang berurusan dengan hati lebih banyak, bahkan juga lebih sulit, direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya, justru sisi batin inilah yang paling banyak dilupakan orang.
Kesalahpahaman ini bisa kita jumpai kasusnya, misalnya, pada orang yang rajin shalat tapi merasa sebagai peribadi yang suci, bersedekah tapi masih dihiasi dengan riya’ (pamer), berpuasa seharian penuh tapi masih suka membenci orang lain, berhaji tapi tidak peka terhadap penderitaan kaum miskin, tidak minum-minuman keras tapi gemar merendahkan sesama hamba Allah, dan lain sebagainya. Sikap-sikap ini menunjukkan bahwa takwa dicapai sebatas urusan fisik tapi belum meresap pada level batin.
Oleh sebab itu, penting bagi seorang hamba untuk membongkar pemahaman kita tentang takwa, mengingat-ingat kembali pesan-pesan Islam yang tak hanya berurusan dengan ritual ibadah tapi juga penataan jiwa dan akhlak. Islam memang memerintahkan para pemeluknya untuk menunaikan shalat, tapi ia juga mendorong mereka dengan shalat itu agar jauh dari perbuatan keji dan munkar. Islam juga memerintahkan umatnya untuk berpegang teguh pada ajaran Allah tapi juga tetap menebar kasih sayang, berdakwah secara santun, tidak angkuh, tidak sok suci, dan maksiat-maksiat hati lainnya.
Jamaah shalat jum’at hadâkumullâh,
Poin penting yang kedua adalah merasaka kehadiran Allah. Takwa bukan semata-sama layaknya undang-undang: ada perintah kita laksanakan, ada larangan tidak kita langgar. Karena takwa yang demikian adalah takwa yang formalistik, di mana ketaatan muncul biasanya dari rasa takut akan sanksi atau pamrih akan sesuatu. Karakter takwa sejati tidaklah semacam itu, ia berangkat dari kesadaran ilahiah. Melaksanakan perintah dan menjauhi larangan semata-mata karena Allah, bukan karena kepentingan dunia termasuk kepentingan egonya sendiri. Orang yang sampai pada takwa seperti ini lebih mengutamakan akhirat ketimbang perkara duniawi yang fana ini:
وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا لَعِبٌ۬ وَلَهۡوٌ۬ وَلَلدَّارُ ٱلۡأَخِرَةُ خَيۡرٌ۬ لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَۗ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ
Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya? (Q.S. al-An’am: 32).
Al-Qur’an juga menyebut, di antara tanda orang bertakwa adalah
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Yaitu orang-orang yang berinfak di saat senang dan susah, orang-orang yang menahan amarah, dan orang-orang yang memberi maaf kepada orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS Al-Maidah: 134)
Ciri-ciri yang diungkap ayat ini mempertegas bahwa takwa tidak semata berurusan dengan ibadah fisik tapi juga ibadah batin. Muttaqin adalah orang yang sensitif akan kebutuhan orang lain, berjiwa lembut, dan murah hati. Semoga kita semua diberi kekuatan untuk menggapai takwa jenis ini dalam menjalani ibadah Ramadhan kali ini.
بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Khutbah II
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
Alif Budi Luhur
Sumber Asli http://www.nu.or.id/post/read/78669/puasa-takwa-macam-apa-yang-hendak-kita-gapai
Discussion about this post