Di dalam Islam mencari ilmu adalah sebuah kewajiban sebagaimana sabda baginda nabi saw yang mahsyur,”tholabul ilmi faridhotan ‘alâ kulli muslimin wamuslimatin“. Dalam konteks Indonesia, tempat mencari ilmu secara kelembagaan ada dua basis. Ada tempat mencari ilmu yang berbasis agama (pondok-pesantren) ada pula tempat mencari ilmu yang berbasis bukan agama (sekolah umum). Sama-sama mengajarkan ilmu tapi keduanya memiliki titik tekan dan konsepsi yang berbeda.
Bagi mereka yang memilih mencari ilmu di pondok pesantren, ada sebuah konsep yang cukup populer yakni;keberkahan atau barokah yang menjadi sebuah titik tekan tersendiri (tidak berarti menafikan konsep ini tidak terdapat di luar pesantren) sehingga mendapatkan keberkahan dari ilmu yang dicarinya di pesantren merupakan sesuatu yang sangat didambakan.
Jamak diketahui keberkahan belum bisa ‘dibaca’ ketika mereka masih menjadi santri yang berada didalam pesantren (nyantri). Seperti sebuah istilah yang mahsyur bahwa santri di pondok itu ibarat telur dalam satu sangkar, dalam pengertian bahwa warnanya masih serupa antara yang satu dengan yang lain, dan warna telur tersebut jelas akan berubah ketika telah menetas. Menetasnya telur disini dapat diartikan ketika santri telah keluar dari pondok dan hidup ditengah-tengah masyarakat.
Bagi santri,keberkahan melampaui semua gagasan dan cita-cita. Tercatat dalam sejarah tradisi pesantren keberkahan adalah poin penentu bagi santri bahwa kelak akan menjadi apa dan bagaimana. Tak penting seberapa banyak ilmu yang dihafalkan tanpa keberkahan didalamnya ilmu justru menjadi malapetaka.
Apa itu sebenarnya keberkahan hingga menjadi sebuah titik tekan tersendiri? kenapa keberkahan kerap menjadi doa pamungkas para guru di pesantren,lalu adakah kiat-kiat tertentu untuk memperolehnya.?
Tulisan ini coba ‘mengulik’ dan mengurai sedikit pertanyaan-pertanyaan diatas.
Secara bahasa keberkahan berasal dari akar kata berkah atau didalam bahasa arab dikenal dengan kata barokah dan juga sudah sering dilisankan begitu kedalam bahasa sehari-hari orang Indonesia.Kata barokah memiliki arti nikmat (al-munawwir,1997:78). Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata berkah memiliki arti karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi manusia.
Secara istilah barokah atau berkah dapat diartikan sebuah kebaikan yang terus bertambah seiring dengan waktu.Hujjatul Islam Muhammad al-Ghozali misalnya dalam ensiklopedia tasawuf menyebut bahwa barokah adalah “Ziyâdatul khoir ”dengan pengertian;bertambahnya kebaikan.
Nabi Muhammad saw dalam banyak sejarah menyebutkan selalu berdoa dalam situasi dan kondisi tertentu dengan menyebut kata barokah.Seperti ketika beliau berdoa untuk bayi “barokallahu hadzal walad” yang di dalam kitab hadits Bukhori, K.H Sya’roni (2014) menjelaskan bahwa doa barokah diatas memiliki maksud agar kelak bayi yang didoakan semakin besar akan bertambah baik.
Begitupun dalam kalimat salam dalam agama Islam ditutup dengan kata barokah, yakni “Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh”Disamping juga menjadi doa bagi orang yang menikah,”Barokallahu lakuma”.Pun menjadi doa oleh khotib sholat jum’at di penutupan khotbah pertama,”Barokallahu lî walakum”
Jadi baik secara bahasa ataupun istilah berkah atau barokah adalah sebuah output dari amal sehingga kebaikan demi kebaikan,berkembang dan bertambah banyak seiring waktu sehingga kebaikan tersebut menjadi abadi.Suatu kebaikan yang bersifat sinambung dengan semakin bertambah dan melimpah (syarah shahih muslim,Imam nawawi).
Karena memiliki signifikansi yang sangat fundamental,barokah akhirnya menjadi sesuatu yang sangat dicari terutama di kalangan pesantren.Representasi pencarian ini salah satunya juga biasa disebut di dunia pesantren sebagai ‘”ngalap berkah”,”tabarrukan”dan lain sebagainya.
Tidak hanya kepada masyayikh yang masih hidup,bahkan kepada masyayikh yang sudah tiada.Banyak praktik-praktik yang dilakukan seperti mencium tangan Kiyai,bertindak sopan dan santun kepada Kiyai dan ahli keluarganya hingga yang lebih luas menggugu dan meniru akhlaq mulia para masyayikh.
Ahlaq Masyayikh adalah representasi dari ilmu yang sudah ‘mendarah daging’ dan santri percaya ahlak ini adalah akhlak yang bersambung ke haribaan Nabi saw. Bila santri ditanya tentang dalil tindakan-tindakan tersebut ;ngalap berkah,tabarrukan santri dididik untuk nurut Kiyai yang populer dengan istilah “sam’an watho’atan”.
Bukan berarti mengkultuskan Kiyai melainkan mengejawantahkan pesan luhur yang bersumber dari Nabi yang diwariskan kepada para ulama sholihin yang merupakan salah satu metode bagaimana santri mempraktikkan pesan-pesan keilmuan lebih mudah dan konkret.
Bagi para masyayikh yang telah tiada para santri mencari keberkahan dengan menziarahi makam mereka, bertawassul dengan mengirim al-fatihah secara istikomah pada waktu-waktu dimana santri menjalankan ibadahnya. Pentingnya menziarahi serta mendawamkan kiriman fatihah kepada masyaikh yang telah tiada adalah untuk menjaga sambungan batiniah dan doa dari para masyaikh.
Ketika rangkaian ikhtiar dan mujahadah sudah dilakukan dengan niat yang bersih,barokah adalah nikmat yang menjadi hak prerogatif Allah swt.Bersabar dan tetap istikomah dalam kebaikan keridhoan orang tua, masyayikh insya Allah juga akan menjadi keridhoan-Nya,nikmat barokah-pun insya Allah akan didapatkan baik yang berupa ilmu,materi ataupun spiritual.
Konsep barokah menjadi sangat penting sebagai faktor pemantik kesungguhan dalam mengamalkan ilmu,yang didorong oleh niat yang bersih serta akhlak yang luhur sehingga ilmu tidak berhenti diatas meja perdebatan (jadal) atau sekedar unjuk kebolehan.
Semoga hidup yang kita jalani menjadi barokah sehingga nilai-nilai luhur kepesantrenan membias dalam kehidupan pribadi khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Penulis: Hadi Pranoto (Alumni pondok-pesatren al_Falah, Jember)
Discussion about this post