Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) menegaskan kesiapan memberikan pelayanan bagi pelaku usaha yang ingin mengurus sertifikasi halal. Hal ini merupakan tindaklanjut amanat UU nomor 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal.
Kakanwil Kemenag Sumsel HM. Alfajri Zabidi menjelaskan, mulai 17 Oktober 2019 kemarin, jaminan produk halal secara resmi diselenggarakan pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama. Sebelumnya, jaminan produk halal dilaksanakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) berlaku secara voluntary. Lahirnya UU Nomor 33 Tahun 2014 mengubah voluntary (sukarela-red) menjadi mandatory (wajib-red) yang pelaksanaannya dilakukan pemerintah.
“Jaminan produk halal oleh pemerintah merupakan bentuk hadirnya negara dalam menjalankan amanat konstitusi. Saat yang sama kehadiran negara merupakan pemenuhan perlunya kepastian hukum atas kehalalan produk yang dikonsumsi, digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat khususnya umat muslim. Kalau selama ini pelaku usaha dapat memilih untuk mencantumkan sertifikat halal atau tidak di produknya, tapi kini menjadi wajib. Kita sendiri siap melayani para pelaku usaha yang akan mengajukan permohonan sertifikat halal secara manual di Kanwil Kemenag Sumsel,” jelas Fajri, Jumat (18/10) pagi.
Kasubbag Informasi dan Humas Kanwil Kemenag Sumsel H. Saefudin menambahkan, pemberlakuan sertifikasi halal ini dilakukan secara bertahap. Tahap pertama, kewajiban ini akan diberlakukan terlebih dahulu kepada produk makanan dan minuman, serta produk jasa yang terkait dengan keduanya. Prosesnya akan berlangsung dari 17 Oktober 2019 sampai 17 Oktober 2024. Sedangkan tahap kedua, kewajiban sertifikasi akan diberlakukan untuk selain produk makanan dan minuman. Tahap kedua ini dimulai 17 Oktober 2021 dalam rentang waktu yang berbeda. Ada yang tujuh tahun, 10 tahun, ada juga 15 tahun. Perbedaan rentang waktu ini tergantung dari kompleksitas produk masing-masing.
“Selama masa penahapan, BPJPH Kemenag akan melakukan pembinaan kepada pelaku usaha yang menghasilkan produk yang wajib bersertifikat halal. Kemenag juga siap bekerjasama dengan pemangku kepentingan lain dan masyarakat untuk menciptakan kondisi yang mendorong peningkatan dan pengembangan iklim berusaha di Sumsel. Penting juga untuk diketahui, selama masa penahapan, bagi produk yang masih beredar dan belum memiliki sertifikat halal tetap diizinkan beredar meskipun tidak mencantumkan label halal di kemasan produk mereka,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Seksi Produk Halal Kanwil Kemenag Sumsel H. Yazuha menjelaskan, tahapan layanan sertifikasi halal mencakup beberapa hal, yaitu pendaftaran, pemeriksaan kelengkapan dokumen, pemeriksaan dan/atau pengujian, penetapan kehalalan produk melalui sidang fatwa halal, dan penerbitan sertifikat halal.
“Pendaftaran permohonan sertifikat diajukan pelaku usaha kepada BPJPH. Permohonan bisa dilakukan secara manual dengan mendatangi kantor BPJPH, Kanwil Kemenag Provinsi dan Kantor Kemenag di setiap Kabupaten/Kota. Cara manual dilakukan karena jenis pelaku usaha itu macam-macam. Ada usaha kecil, mikro. Pedagang asongan, gerobak, tukang bakso, gorengan hingga perusahaan besar dan multi nasional. Semua perlu dilayani untuk sertifikasi halal,” jelasnya. .
Permohonan sertifikat halal harus dilengkapi dokumen berupa data pelaku usaha, nama dan jenis produk, daftar produk dan bahan yang digunakan, serta proses pengolahan produk. Permohonan sertifikat halal juga disertai dokumen sistem jaminan halal. “Pemeriksaan kelengkapan dokumen permohonan akan dilakukan BPJPH. Pelaku usaha selanjutnya memilih Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) sesuai dengan pilihan yang sudah disediakan. Karena LPH saat ini ada LPPOM-MUI, pilihan pelaku usaha otomatis adalah LPPOM MUI pusat dan propinsi,” tuturnya.
Tahap selanjutnya, BPJPH melakukan verifikasi dokumen hasil pemeriksaan LPH. Hasil verifikasi itu kemudian BPJPH sampaikan kepada MUI untuk dilakukan penetapan kehalalan produk. Penetapan kehalalan produk dilaksanakan MUI melalui sidang fatwa halal.
“Berdasarkan keputusan penetapan kehalalan produk dari MUI itulah, BPJPH menerbitkan sertifikat halal. Terkait biaya penerbitan sertifikat halal, dibebankan kepada pelaku usaha. Untuk besarannya, telah dibahas BPJPH bersama pelaku usaha, Majelis Ulama Indonesia, dan LPPOM MUI yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan,” tuntasnya.
Discussion about this post