Usaha dan tawakal merupakan satu paket sifat yang harus dimiliki oleh Muslim. Keduanya tidak berdiri sendiri. Saking kerasnya perintah agar manusia Muslim berusaha, Umar bin Khattab pernah mengusir seseorang yang kerjanya hanya berdoa di masjid.
Beliau berkata kepada orang itu: “Tidak ada hujan uang dari langit.” Riwayat lain menyebutkan bahwa ketika Nabi Muhammad akan mengerjakan shalat Ashar di Masjid Nabawi Madinah, tiba-tiba ada seorang jamaah datang dari luar kota, menggunakan kendaraan mahal, yaitu unta berwarna merah. Orang itu melepaskan untanya tanpa diikat terlebih dahulu, kemudian memasuki masjid, mengikuti shalat jamaah.
Melihat sikap orang ini Nabi Muhammad kembali dari depan dan bertanya kepadanya: “Fulan kenapa engkau lepas untamu?” Orang itu menjawab, “Aku bertawakal kepada Allah. Kalau Allah takdirkan untaku hilang, meskipun aku ikat pasti hilang. Dan jika Allah takdirkan unta itu tidak hilang, meskipun kami lepas ia tidak akan hilang”.
Nabi Muhammad pun bersabda: I’qilha wa tawakkal (tambatkanlah terlebih dahulu (untamu) kemudian setelah itu bertawakal-lah). Hadits ini diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dengan kadar hadis hasan. Tawakal bukan berarti penyerahan mutlak nasib manusia kepada Allah semata. Namun penyerahan tersebut harus didahului dengan usaha manusia.
Jelas sekali Islam memerintahkan agar kita berusaha semaksimal mungkin dalam mengusahakan sesuatu, baru kemudian bertawakal kepada Allah SWT.
Profesor Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa dalam hal menjadikan Allah SWT sebagai ‘wakil’ atau apabila manusia bertawakal kepada-Nya. Maka manusia dituntut untuk melakukan sesuatu yang berada dalam batas kemampuannya.
Tawakal bukan berarti penyerahan mutlak nasib manusia kepada Allah semata. Namun penyerahan tersebut harus didahului dengan usaha manusiawi. Seperti yang dijelaskan lewat riwayat di atas.
Masih menurut penjelasan Prof Quraish Shihab bahwa terdapat perbedaan antara istilah menjadikan wakil dalam wilayah manusia dan Allah. Dalam pandangan sesama manusia, tugas wakil adalah mengikuti petunjuk dari yang mewakilkan. Juga status wakil bisa ditarik bila terdapat kekeliruan di dalam menjalankan amanat.
Begitu pula ketika wakil telah bekerja, maka sang pemberi petunjuk boleh untuk tidak terlibat langsung di dalam urusan.
Namun, itu jauh berbeda ketika seorang manusia menjadikan Allah sebagai wakilnya dalam sebuah urusan. Karena Allah lebih mengetahui permasalahan, sementara manusia tidak. Kuncinya, ketika bertekad menjadikan Allah sebagai wakil, maka yakinlah apa yang akan diputuskan atau jalan yang dipilih-Nya adalah hal yang terbaik.
Berbeda di saat memilih wakil dalam konteks manusia yang dipercaya menggantikan secara penuh dalam menghadapi apa yang ditugaskan, pemaknaan tawakal bukan berarti memasrahkan persoalan kepada Tuhan tanpa didahului usaha yang maksimal. Tidak ada perintah bertawakal kepada Allah dalam Al-Qur’an kecuali sebelumnya terdapat perintah untuk berusaha. (Fathoni)
Discussion about this post